Ready Player One (2018)

Poster.jpg

Directed By: Steven Spielberg

Cast: Tye Sheridan, Olivia Cooke, Ben Mendhelson, Mark Rylance, Simon Pegg, Lena Waithe, Philip Zhao, Win Morisaki, Hannah John- Kamen

Synopsis:

Di masa depan, di mana teknologi Virtual Reality sudah menjadi barang sehari- hari, banyak manusia mencoba keluar dari realitas kehidupannya dan masuk ke dalam Oasis, sebuah dunia virtual di mana para pemain menjalani aktivitasnya dengan berperan sebagai Avatar yang dipilihnya. Layaknya sebuah video game, di dalam Oasis juga terdapat misi- misi yang bisa dipilih untuk mendapatkan koin. Koin tersebut bisa digunakan sebagai alat tukar di dunia Oasis, ataupun membeli keperluan permainan yang bisa dikirim ke dunia nyata.

Oasis diciptakan oleh duo James Halliday (Mark Rylance) dan Odgen Morrow (Simon Pegg). Ketika Halliday meninggal, dia memberikan misi bagi para pemain untuk menemukan 3 buah artefak yang menjadi petunjuk letak Easter Egg, di mana si penemu bisa mendapatkan hak dan seluruh saham Oasis, artinya dia bisa mempunyai kontrol penuh terhadap dunia yang menjadi pusat peradaban dunia pada saat itu.

5 tahun sejak meninggalnya Halliday, belum ada satupun yang berhasil mendapatkannya. Hingga akhirnya seorang pemain yang memiliki username Perzival (Tye Sheridan) bersama 4 temannya; Art3mis (Olivia Cooke), Aech (Lena Waithe), Daito (Win Morisaki), dan Sho (Philip Zao) berhasil menemukan satu per satu artefak tersebut. Untuk itu kelimanya dikejar oleh Sorrento (Ben Mendelsohn), direktur IOI, yang memiliki misi untuk menguasai Oasis.

Review:

1

Sekali lagi Steven Spielberg telah dengan sangat brilian berhasil menelurkan sebuah film yang (seperti film- filmnya yang lain) kelak akan mendapat predikat “film klasik” dan juga cult. Bagaimana tidak? Film ini memiliki paket lengkap dan menjadi sebuah love letter bagi budaya populer. Khususnya dari era tahun 1980 sampai 2010an. Tidak menutup kemungkinan film ini kelak juga akan menjadi referensi bagi mereka yang ingin mempelajari sejarah pop culutre di masa yang akan datang. Menyaksikan film ini sedikit mengingatkan kita saat menyaksikan film The Cabin in The Woods, yang memiliki banyak referensi karakter- karakter film horor. Tapi yang lebih mengasyikan dari film The Cabin in The Woods, jika pada film tersebut masih sangat jelas menemukan referensi budaya pop horor klasik, karena hanya muncul di scene- scene tertentu, di film ini Spielberg dengan cerdas menebar refernsi tersebut hampir di setiap scene sepanjang durasi. Sebagian sangat mudah dikenali, sebagian lagi bergerak sangat cepat dan (atau) diambil dari sudut yang sangat jauh. Jadi tidak cukup sekali menonton film ini untuk menemukan referensi- referensi tersebut.

2

Berbicara mengenai referensi budaya pop, yang menjadi salah satu daya jual film ini, sayangnya ada beberapa referensi yang muncul di novel, tapi karena masalah license jadi tidak bisa ditampilkan di versi filmnya. Namun hal ini tidak lantas kadar keasyikan film ini jadi meluntur. Karena seperti saya bilang tadi, nonton ratusan kali pun belum tentu bisa menemukan semua refernsi dan pesan tersembunyi. Karena cara Spielberg memunculkannya, bukan hanya berupa karakter atau kendaraan saja, kadang berupa meniru adegan atau hanya berupa insignia dan logo dari film lain. Uniknya lagi, Spielberg juga memasukkan trivia dari filmnya sendiri.

5

Bukan hanya sekedar memunculkan referensi atau cameo saja, naskah film ini layaknya sebuah permainan video game. Di mana ada beberapa orang yang bermain secara lurus memutar otak, ada juga yang membayar lebih untuk mendapatkan artefak yang sudah diambil gamer lain. Selain itu setting film yang mayoritas di The Oasis dan bagaimana para gamer lebih suka menghabiskan waktu di sana ketimbang di dunia nyata, dan hanya berhenti untuk kebutuhan inti seperti tidur, makan, dan buang air, seperti sindiran kepada gamer- gamer atau penghamba budaya populer yang lebih suka menghabiskan waktu dengan hobinya tersebut ketimbang pergi keluar bersosilasi dan menjalankan realitas hidup yang lebih nyata.

3

“Lantas kalau saya misal dulu sekolah kerjaannya cuma belajar, gak gaul, gak main game, gak nonton film, terus gak punya temen apakah bisa juga menikmati film ini?”

Masih bisa. Meski film ini memiliki titik kuat dalam menyelipkan tribute pop culture, namun dari segi cerita serta naskah juga tetap mengasyikan. Adegan laganya pun cukup seru. Dengan menyelipkan twist yang cukup berbobot, film ini bisa menutup kisahnya dengan sangat manis. Jadi bisa dikatakan film Ready Player One adalah sebuah sajian tribute bagi budaya populer, namun bisa dinikmati seluruh kalangan. Tidak salah jika saya menasbihkan film ini sebagai salah satu film terbaik Steven Spielberg, dan film terbaik tahun 2018… so far (dnf)

Rating:

9.5/10

Pacific Rim: Uprising (2018)

Poster.jpg

Directed By: Steven S. DeKnight

Cast: John Boyega, Scott Eastwood, Cailee Spaeny, Burn Gorman, Charlie Day, Jing Tian, Adria Arjona, Rinko Kikuchi

Synopsis:

Jake Pentecost (John Boyega), anak dari Stecker Pentecost, seorang pahlawan yang berhasil menutup gerbang antar dimensi tempat masuknya para Kaiju ke bumi, lebih memilih menjadi kriminal ketimbang meneruskan jejak sang ayah. Namun demi menghindari penjara, Jake terpaksa melatih para kadet pilot Jaeger muda, bersama dengan mantan rekannya, Nate Lambert (Scott Eastwood). Karena meskipun ancaman kaiju sudah tidak ada, namun para ahli memperkirakan akan kemungkinan adanya serangan para monster raksasa tersebut kembali.

Review:

2

Pada tahun 2013 muncullah sebuah film yang merupakan penggabungan 2 genre populer anime yang juga merupakan favorit masa kecil Guillermo Del Torro; Kaiju dan Mecha. Sebagai sedikit dan penjelasan, Mecha adalah sebuah sebutan genre film yang berisikan fantasi science fiction, di mana kisah berkutat pada robot raksasa yang digerakan oleh manusia. Sebut saja semacam Gundam, Evangelion, dan Mazinger Z. Sementara kaiju adalah film yang memiliki kisah fokus monster raksasa. Contoh paling populer adalah Godzilla. Del Torro berhasil menggabungkan 2 genre favoritnya tersebut sekaligus menjadikan sajian mimpi basah para fanboy dengan menampilkan pertempuran antara Mecha dan Kaiju versi Hollywood.

1

Satu hal yang kental terasa dari film ini adalah semakin terasanya pengaruh RRC terhadap industri perfilman Hollywood. Sebenarnya bukan hanya film ini saja, namun selama 1 dekade belakangan ini sudah mempengaruhi beberapa film mega budget. Sebut saja seperti penggunaan Ben Kingsley sebagai The Mandarin, yang diganti etnisnya untuk menghindari karakteristik penjahat utama. Lewat film Pacific Rim: Uprising ini, beberapa hal nampak dengan jelas dipengaruhi. Sebut saja dengan peletakan lokasi markas komando serta karakter- karakter inti yang menggunakan artis mandarin. Padahal jika ingin dijadikan tribute, lebih pas jika aktor/ aktris Jepang yang dikedepankan (selain Rinko). Untung saja, adegan klimaks masih memilih kota Tokyo sebagai setting lokasinya. Sebenarnya wajar saja RRC terasa sebagai sentral cerita ini. Terasa seolah- olah aktor- aktris bule dan negro hanya sebagai tempelan supaya laku secara global. Film Pacific Rim sendiri sebenarnya ditutup dengan sebuah akhir yang tidak membuka adanya sekuel, namun Gross Profit dari RRC yang cukup bombastis yang membuat film ini dilanjutkan menjadi sebuah sekuel.

4

Ada lagi yang membedakan film ini dengan seri sebelumnya. Kali ini, naskah terasa ingin merangkul penonton remaja dengan memasukan banyak karakter teenager yang nampaknya bakalan didapuk sebagai generasi lanjutan jika franchise ini berlanjut terus. Sentuhan komedinya pun juga cukup baik. Penanganan adegan final fight nya cukup seru. Banyaknya kritikan pertempuaran di malam hari yang menjadi mayoritas adegan laga di film pertama, menjadikan film keduanya ini lebih memillih siang hari sebagai setting waktu di setiap adegan pertempuran raksasanya. Dan bagi saya pribadi, ini menjadi pilihan yang bagus. Mengingat hasilnya kita bisa lebih bisa mengikuti koreo berkelahi para robot dan monsternya.

6

Jika ditanya apa yang menjadi kekurangan film ini saya akan menjawab karakterisasi masing- masing tokohnya. Jika pada film pertama trio Charlie Hunnam, Idris Elba, serta Rinko Kikuchi digali cukup dalam, kali ini tidak ada karakter yang cukup berkesan. Kemunculan duet ilmuwan nyentrik yang diperankan oleh Charlie Day dan Burn Gorman juga tidak semenarik dulu. Jika di film pertamanya penampilannya cukup apik ala- ala trio ilmuwan aneh yang menjadi pemburu hantu, kali ini comeback mereka berdua tidak bisa memberikan efek komedi cerdas seperti dulu lagi. John Boyega, yang meski harus diakui di film ini lebih keren daripada jadi Finn di Star Wars, namun karakternya terlalu dangkal. Scott Eastwood yang sebenarnya bisa di treat sebagai penghibur penonton wanita, untuk mengobati absennya Charlie Hunnam karena bentrok syuting, juga terasa hanya sebagai pemanis – yang -penting- ada- jagoan- ganteng. Apalagi karakter Jules yang diperankan Adria Arjona yang kayaknya cuman sebagai pemanis – yang -penting- ada – jagoan- cantik- sexy saja. (dnf)

Rating:

7.5/10

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Death Wish (2018)

Poster

Directed By: Eli Roth

Cast: Bruce Willis, Vincent D’Onofrio, Elizabeth Shue, Camila Morrone

Synopsis:

Setelah sebuah perampokan menewaskan istri dan membuat anaknya koma, seorang dokter bernama Paul Kersey (Bruce Willis) terpanggil untuk melindungi warga Chicago dari kejahatan jalannya. Dengan berbekal sebuah pistol Glock, Kersey menghabisi setiap pelaku kriminal yang ditemuinya. Sampai suatu hari, dia menemukan petunjuk atas perampokan tersebut. Tidak percaya dengan kinerja polisi, Kersey pun akhirnya memutuskan untuk mendatangi semua yang terlibat dan membunuhnya satu per satu.

Review:

1.jpg

Pada tahun 1974, sebuah film berjudul Death Wish dirilis. Menjadi salah satu film yang semakin menguatkan nama Charles Bronson menjadi salah satu icon bintang macho. Meskipun akhirnya diikuti dengan beberapa sekuel, pada saat rilis, film ini banyak menerima review positif dan juga kritikan tajam. Kritikan diarahkan kepada filosofi main hakim sendiri yang diusung dan ditakutkannya semakin banyaknya orang yang langsung menghukum pelaku kriminal tanpa adanya proses hukum yang benar. Menjadi sebuah pop culture pada saat itu, film ini menelurkan genre baru dan film- film sejenis dengan tema yang mirip. Sebut saja semacam The Brave One, Law Abiding Citizen, dan Death Sentence. Biasanya kemiripan didapat dari seorang protagonis yang kehilangan orang yang disayang karena suatu tindakan kriminal dan terpaksa main hakim sendiri akibat kurang kompetennya petugas hukum dalam mengungkap kasusnya. Sebenarnya plot semacam ini sudah sering dituangkan menjadi origins karakter komik. Sebut saja yang paling mendekati adalah Batman dan The Punisher.

2

Satu hal yang perlu dicermati sebelum menyaksikan film ini adalah, bahwa film semacam ini tidak memerlukan akting yang memukau ataupun naskah kelas Oscar. Yang penting ditonjolkan adalah bagaimana menyaksikan sang jagoan menghukum satu per satu penjahat yang telah merusak kehidupan bahagianya. Dan dengan ditambahnya nama Eli Roth yang menggawangi proyek ini, sudah pasti aksi balas dendamanya akan dipenuhi dengan adegan gore dan violence dengan level yang cukup “memuaskan”. Pemilihan Bruce Willis untuk menggenggam tongkat estafet yang dulunya dipegang almarhum Charles Bronson, juga cukup pas. Willis paling dikenal dengan karakter John McClane yang memang di franchise filmnya terkenal dengan adegan yang cukup kerasa. Sehingga kemasan violence film ini sudah cukup baik.

3

Perubahan profesi Kersey dari seorang arsitek menjadi seorang dokter juga cukup baik. Meskipun alasannya cukup cheesy, di mana dengan menjadikan Kersey berprofesi sebagai dokter memberikan simbol dualisme Kersey, di mana di satu sisi dia akan berbuat sekuat tenaga untuk menyelamatkan nyawa dan di satu sisi dia juga cukup ahli dalam mencabut nyawa. Meskipun memiliki rating R, Roth menurunkan kadar violence-nya. Di mana di versi original, anak dari Kersey versi Bronson mengalami pelecehan seksual dan pemerkosaan oleh pelaku kriminal, di sini cukup dibuat menjadi koma tanpa adanya adegan pemerkosaan yang cukup disturbing. Dan jika dibandingkan dengan film- film Roth sebelumnya, sebenarnya adegan violence dalam film ini agak menurun kadarnya.

4.jpg

Apakah Eli Roth berhasil dalam me-reboot film ini? Jika hanya menjadi sebuah tontonan film aksi kelas B low budget bisa dikatakan cukup berhasil. Namun jika ingin menyamai versi lamanya, kayanya masih terlalu jauh. Bisa jadi karena sudah jamaknya film dengan tema semacam ini. Berbeda dengan di tahun 1974 ketika film semacam ini masih cukup jarang. Apakah film ini cukup menghibur? Bagi saya iya. Dengan apiknya tensi adegan aksi disertai dengan dark comedy yang apik, rasanya akan cukup menghibur. Namun yang sangat disayangkan adalah adegan final fight yang saya rasa terlalu singkat. Harusnya bisa didurasikan lebih lama lagi. (dnf)

Rating:

7/10

Insidious: The Last Key (2018)

Poster

Directed By: Adam Robitel

Cast: Lin Shaye, Leigh Whannell, Angus Sampson, Kirk Aceveda, Caitlin Gerard, Spencer Locke, Josh Stewart, Teresa Ferrer, Ava Kolker, Pierce Pope, Bruce Davison

Synopsis:

Elise Reinier (Lin Shaye) mendapat telepon dari seseorang yang mengaku mendapatkan gangguan mahluk halus di rumahnya. Ternyata rumah tersebut adalah rumah di mana Elise tumbuh sejak kecil bersama adik dan ayahnya yang kasar dan suka menyiksa. Kali ini Elise mau tidak mau harus menghadapi lagi kekuatan jahat yang sempat membunuh ibunya dan membuat ayahnya gemar menyiksa.

Review:

4

Pada tahun 2011, sebuah film horor yang akan menjadi trendsetter baru dalam dunia perfilman horor dirilis. Selain mengembalikan genre horor klasik, film ini juga mendudukkan sang sutradara, James Wan, menjadi salah satu nama yang cukup diperhitungkan di genre tersebut. Kehadiran film Insidious- yang diteruskan dengan The Conjuring- membuat peta perfilman horor semakin bergeser. Dari yang tadinya booming dengan film Slasher, found footage, ataupun phsycological thriller, kini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan film horor klasik. Di mana lebih menekankan kepada letak kamera, lighting, serta musik yang depressing.

Insidious: The Last Key (2018)

Dan seperti halnya film- film horor jenius lainnya, Insidious pun mendapatkan jilid- jilid penerus, yang sayangnya makin hari makin menurun kualitasnya. Hal ini diakibatkan dengan cerita yang cenderung dipaksakan. Bukannya untuk spoiler, dan saya rasa yang baca review ini sudah nonton film pertamanya. Di film pertama cerita terfokus kepada keluarga Lambert dengan karakter Elise Rainier sebagai peran pembantu yang membantu keluarga malang tersebut untuk melepaskan gangguan gaib dari roh jahat. Dan di akhir kisahpun, Elise diceritakan mati. Mungkin ini merupakan salah satu kesalahan. Mungkin juga awalnya tidak akan terpikirkan kalau film ini akan menjadi sebuah kuda hitam yang memiliki kesuksesan besar. Di film kedua, naskah masih bagus dengan meneruskan kisah di mana film pertama berakhir. Dan karakter Elise (yang merupakan scene stealer di film pertama selain setan yang mirip Darth Maul) dan dua asistennya (kalau ini kudu muncul, karena salah satunya diperankan oleh Leigh Whannell…. kenapa? Karena dia yang nulis naskah) masih dimunculkan dengan alur yang tidak dipaksakan.

3

Nah di film ketiga baru keadaan memaksakan itu semakin terasa. Menyadari tidak memungkinkannya film dilanjutkan sebagai sebuah sekuel, film ketigapun dibuatkan sebagai prekuel. Dengan karakter Elise menangani kasus sebelum kasus keluarga Lambert. Untungnya Whannell masih bisa menggunakan metode time travel sehingga masih ada nyambung- nyambungnya lah dengan film pertama. Di film keempat ini begitu juga. Karena harus ada film keempat, jadi mau tidak mau film ini dijadikan sebuah prekuel lagi. Secara skenario, jika menjadi sebuah film tersendiri, sebenarnya cukup baik. Insidious: The Last Key memberikan twist berlapis yang pastinya akan memuaskan penggemar twist.

6

Adegan horornya cukup lumayan menegangkan, meski jika dibandingkan dengan pendahulunya mengalami penurunan. Whannell di sini cukup jeli mengeksplor potensi duet karakter Specs dan Tucker yang bisa menjadi faktor komedi yang bisa membuat penonton tenang di tengah ketakutan. Menyadari juga bahwa franchie ini masih berpotensi menjadi mesin pencetak uang, tapi usia Lin Shaye sudah terlalu tua, Whannell pun di sini menyiapkan dua karakter keponakan Elise, yang digambarkan salah satunya memiliki “bakat” yang sama dengan tantenya. Jadi setidaknya karakter Imogen (Caitlin Gerard) dan Melissa (Spencer Locke) bisa melanjutkan tongkat estafet jika nantinya diputuskan untuk dibuat jilid berikutnya.

5

Terlepas dari skenario yang cenderung dipaksakan, Insidious: The Last Key bisa menjadi tontonan yang cukup menarik. Apalagi bagi yang mengharapkan adegan- adegan seram. Dan penonton- penonton aneh lainnya, yang bayar tiket film horor tapi sepanjang film cuma tutup mata. (dnf)

Rating:

6.5/10

Justice League (2017)

Poster

Directed By: Zack Snyder

Cast: Ben Affleck, Henry Cavill, Gal Gadot, Ezra Miller, Jason Momoa, Ray Fisher, Jeremy Irons, Amy Adams, J.K. Simmons, Ciaran Hinds

Synopsis:

Paska tewasnya Superman/ Clark Kent (Henry Cavill), Bruce Wayne/ Batman (Ben Affleck) mengajak Wonder Woman/ Diana Prince (Gal Gadot) untuk merekrut manusia- manusia dengan kemampuan super. Mereka berhasil merekrut 3 superhero, yaitu Aquaman/ Arthur Curry (Jason Momoa), setengah manusia dan setengah penduduk atlantis; The Flash/ Barry Allen (Ezra Miller) yang mampu bergerak cepat; Cyborg/ Victor Stone (Ray Fisher), mantan pemain football yang sebagian besar organnya diganti mesin.

Tugas pertama mereka adalah menghentikan Steppenwolf (Ciaran Hinds) untuk membangkitkan “ibu”. Merasa mereka kewalahan, kelima pahlawan super tersebut setuju untuk menghidupkan kembali Superman untuk memimpin Justice League melawan Steppenwolf.

Review:

1

YEEEEESSSSS!!!!!!! JUSTICE LEAGUE DIBUAT FILMNYA….!!!! Begitulah kira- kira perasaan saya ketika mendengar kabar bahwa Warner Bros dan DC mengejar ketinggalannya dengan sang pesaing dengan lebih mendahulukan film Justice League ketimbang film stand alone masing- masing member-nya (kecuali Superman dan Wonder Woman yang sudah lebih dulu rilis). Setengah tahun sebelumnya, DC juga sempat mengeluarkan sebuah film “versus” yang digadang- gadang sebagai teaser untuk film Justice League. Pasalnya di film berjudul Batman v Superman: Dawn of Justice itu ditampilkan 3 jagoan raksasa DC yang biasa disebut dengan istilah Trinity. Yaitu Superman, Batman, dan Wonder Woman. Meskipun film tersebut dipuji sebagian besar fanboy, namun berbeda dengan kritikus yang menjadikan film ini sebagai bulan- bulanan. Alasan utamanya adalah cerita yang tidak jelas. Ternyata kesalahan terjadi atas intervensi studio yang meng-cut beberapa menit durasi yang efeknya membuat rating film tersebut turun. Hal ini diamini dengan sebagian besar kritikus yang sudah menilai versi theatrical- nya namun sangat puas dengan versi extended-nya yang ternyata memberikan cerita yang lebih lengkap dan rapi menutup plothole- plothole versi theatrical- nya.

2

Tone yang terlalu dark juga menjadi salah satu efek yang membuat penonton yang sudah terbiasa melihat nuansa warna- warni Marvel jadi terlalu boring. Dan ketika tone warna- warni dicoba lewat film Suicide Squad, malah banyak kritikus yang tidak suka. Nilai plus diperoleh lewat Wonder Woman, yang meskipun menurut saya pribadi agak slow dan ditambah miscast untuk villain utama, tapi ternyata dikagumi oleh para kritikus dan dianggap sebagai titik balik DCEU. Lewat film Justice League ini DCEU kembali menjawab semua keraguan para kritikus dengan sajian yang cukup apik. Dengan sentuhan Joss Whedon sebagai penulis, kisah yang disajikan tidak seberat dan se-dark BvS ataupun Man of Steel. Bisa dikatakan kisah yang disajikan mirip dengan penyajian film animasi yang serba simple. Begitu juga dengan segi action yang sangat pop corn.

4

Berbicara mengenai adegan laga, warna yang diberikan oleh Whedon sangat terasa. Pilihan memilihnya untuk menggantikan posisi Snyder yang hiatus di tengah produksi pasca tragedi yang menimpa anaknya mengingatkan kita saat J.J. Abrams dinobatkan untuk mengembalikan franchise Star Wars ke layar lebar setelah melakukan hal yang sama dengan franchise Star Trek. Bisa dikatakan Whedon merupakan otak di balik kesuksesan The Avengers. Film pertama yang menggabungkan karakter- karakter Marvel. Sementara Justice League adalah Avengers-nya DC Comics. Adegan- adegan laga yang pop corn banget dan seru pastinya akan lebih mudah diterima ketimbang versi Snyder yang lebih stylish.

5

Kekuatan lain dari film ini adalah chemistry antar karakter yang sangat dinamis dan bisa menyatu dengan apik. Ben Affleck yang awalnya dipandang sebelah mata sebagai Batman, dan bisa mematahkan penilaian buruk tersebut lewat BvS, kali ini bermain juga lebih manusiawi. Hanya saja untuk violence level-nya terasa lebih berkurang ketimbang BvS. Bruce Wayne di sini juga digambarkan lebih manusiawi. Begitu juga dengan Gal Gadot yang sekali lagi dengan logat seksinya (meleleh banget setiap dia nyebut “Kal El”) bisa memberikan pesona cantik seorang superhero wanita. 3 karakter lain yang diperkenalkan di film ini juga bisa membaur dengan sempurna dengan 3 karakter lain yang sudah lebih dulu dikenal. Khususnya bagi Jason Momoa dan Erza Miller. Momoa bisa memberikan kesan bad ass seorang Aquaman dengan sempurna dengan tampilan ala frontman band hard rock. Lalu Erza Miller yang didapuk untuk memberikan nuansa komedi di dalam tubuh Liga Keadilan. Meskipun di beberapa scene terasa dipaksakan, namun lucunya cukup efektif. Yang justru agak kurang bersinar adalah Ray Fisher. Entah karena terpilih untuk memberikan “warna kulit” berbeda, atau memang jam terbang aktingnya masih paling minim dibanding rekan- rekannya. Penampilannya sebagai Cyborg, terasa tertutupi oleh bayang- bayang karakter lainnya.

6

Yang sebenarnya memiliki potensi fans service serta kejutan sebenarnya adalah kemunculan Henry Cavill sebagai Superman. Ini saya bukan spoiler, tapi memang dari berbagai interview cast Cavill selalu dimunculkan. Seharusnya melihat persiapan materi promosi yang hanya mengedepankan 5 karakter Justice League, seharusnya keterlibatan Cavill dirahasiakan saja sejak awal. Pastinya akan menambah euphoria tersendiri ketika tau- tau melihat dirinya muncul. Oiya muncul lengkap sama pacarnya yang tante- tante (baca: Amy Adams). Overall, secara pribadi dan sebagai seorang fanboy, Justice League merupakan sebuah one package yang memuaskan. Hanya saja sangat disayangkan lagi- lagi Warner Bros memangkas beberapa menit durasi yang nantinya buat jadi bahan jualan Home Video-nya. Dan jangan lupakan menyaksikan 2 stinger di pertengahan kredit dan akhir kredit yang pastinya akan membuat para fans jejeritan tepuk tangan. Yah, meskipun sangat disayangkan credit scene kedua sempat bocor di internet. Dan buat elo- elo yang udah nyebarin nyebarin di sosmed… SHAME ON YOU!!! (dnf)

Rating:

8.5/10

BEYOND SKYLINE (2017)

Poster

Directed By: Liam O’Donnell

Cast: Frank Grillo, Bojana Novakovic, Iko Uwais, Yayan Ruhian, Jonny Weston, Jacob Vargas, Antonio Fargas, Callan Mulvey

Synopsis:

Kota Los Angeles diserang oleh pesawat luar angkasa. Alien tersebut menculik manusia untuk diambil otaknya dan dijadikan tentara kloningan Alien. Beberapa di antara warga yang ikut terculik adalah seorang polisi dan anaknya; Mark (Frank Grillo) dan Trent (Jonny Weston), masinis kereta Audrey (Bojana Novakovic), dan veteran perang Sarge (Antonio Fargas). Mereka berhasil membuat pesawat Alien tersebut jatuh di Laos.

Merekapun akhirnya diselamatkan oleh gerombolan pemberontak yang dipimpin oleh Sua (Iko Uwais) dan Harper (Callan Mulvey) yang juga merupakan sindikat perdagangan obat bius dan menjadi musuh bebuyutan The Chief (Yayan Ruhian), seorang tentara pemerintahan yang bertugas membasmi para pemberontak tersebut.

Review:

1

Ketika mendapatkan kabar bahwa 2 bintang laga lokal yang sudah Go International ikut dalam sebuah proyek film Sci- Fi, tidak sedikit moviegoer Indonesia yang menyambutnya dengan penuh harapan dan suka cita. Namun ketika mendengan bahwa film tersebut berjudul Beyond Skyline yang notabene adalah sekuel dari film Skyline yang rilis tahun 2010, saya pribadi mulai agak sedikit kecewa. Pasalnya film tersebut sangatlah buruk. Meskipun secar finansial menguntungkan dan mendapatkan laba hampir 8 kali dari budget hanya untuk peredearan domestik US saja, namun secara kualitas sangatlah buruk. Bisa dikatakan termasuk salah satu film yang forgettable. Tapi ya gimana, toh kita tetap harus mendukungkan? Apalagi syutingnya di beberapa obyek pariwisata di sekitaran Jawa Tengah.

2

Mengingat semengecewakannya film pertama, saya menonton film keduanya dengan ekspektasi yang rendah. Namun hasilnya ternyata masih cukup oke. Tidak bisa dikatakan wah, tapi untuk ukuran sebuah film yang bukan dari major studio, masih bisa dikatakan cukup menghibur. Dari segi naskah cukup ada peningkatan, meski masih banyak sekali plothole dan kemiripan dengan film- film sejenis. Beberapa hal sebenarnya masih bisa ditingkatkan. Seperti hubungan dan chemistry antar karakter. Contohnya hubungan ayah- anak Mike dan Trent yang tidak terlihat peduli satu sama lain. Bahkan ketika maut mengancam sekalipun.

3

Topi perlu diangkat untuk Liam O’Donnell yang berhasil membuat gebrakan dengan menghadirkan adegan yang lebih masif ketimbang film pertamanya. Belum lagi dengan pilihannya untuk memakai Frank Grillo, yang memang sedang naik daun di Hollywood sana paska keterlibatannya di MCU dan franchise The Purge. Special effect yang diolah dengan cukup apik juga menambah kesan tersendiri untuk film ini. Namun yang membuat film ini semakin seru adalah dengan terpilihnya Iko Uwais dan Yayan Ruhian sebagai fight coreographer yang ternyata dipadukan dengan adegan invasi alien malah efektif menjadi nilai plus dan pembeda film ini dengan film- film sejenis. Bisa dibilang ini adalah nilai jual tersendiri setelah kehadiran Frank Grillo. Mengingat demam The Raid belum juga pudar di Hollywood, dan pengaruhnya juga masih kerasa di beberapa film besar.

4

Sebagai sebuah hiburan film ini cukup berhasil, meski jangan terlalu berekspektasi seperti film sci-fi Alien macam Predator, Alien, atau Attack The Block. Namun sebagai sebuah harapan baru bagi Indonesia agar lebih dikenal dunia, sudah bisa dikatakan cukup berhasil. Lupakan masalah skenario yang masih perlu tambal sulam di sana- sini. Dan saksikan bagaimana pencak silat bisa memukul balik invaasi mahluk luar angkasa. (dnf)

Rating:

7/10

 

It (2017)

Poster.jpg

Directed By: Andy Muschietti

Cast: Jaeden Liebeher, Jeremy Ray Taylor, Sophia Lillis, Finn Wolfhard, Chosen Jacobs, Jack Dylan Grazer, Wyatt Oleff, Bill Skarsgard, Nicholas Hamilton, Jackson Robert Scott

Synopsis:

Setelah kehilangan adiknya, Georgie (Jackson Robert Scott), seorang anak culun Bill Denbrough (Jaeden Lieberher) mengajak ketiga temannya; Richie (Finn Wolfhard), Eddie (Jack Dylan Grazer), dan Stan (Wyatt Oleff) untuk menghabiskan liburan musim panas mencari keberedaan sang adik, yang ternyata merupakan salah satu dari puluhan anak kecil yang hilang di kota kecil Derry.

Bersama dengan ketiga teman yang akhirnya ikut bergabung; Beverly (Sophia Lillis), Ben (Jeremy Ray Taylor), dan Mike (Chosen Jacobs), mereka akhirnya mengetahui bahwa ada sesosok mahluk menyeramkan berwujud badut bernama Pennywise (Bill Skarsgard) di balik hilangnya anak- anak tersebut. Pennywise ternyata merupakan sebuah mahluk mematikan yang gemar memakan daging dan ketakutan anak kecil dengan muncul sebagai sosok yang paling ditakutkan sang korban.

Review:

1

Coulrophobia adalah perasaan takut yang berlebih pada sosok badut. Badut bisa bikin takut? Meskipun bertujuan untuk pentas komedi dan menghibur, tapi tidak sedikit anak kecil (bahkan orang dewasa) yang merasa ketakutan melihat badut. Dengan make up yang sangat tebal serta perilaku aneh (yang sebenarnya adalah bagian dari aksi komedinya), badut sering diasosiakan dengan sosok yang menyeramkan. Ditambah lagi ada beberapa kejadian kriminal yang dilakukan oleh orang berkostum badut. Salah satunya adalah kasus penculikan, pelecehan seksual, dan pembunuhan yang dilakukan oleh John Wayne Gacy Jr. yang selalu tampil sebagai Pogo The Clown, karakter badut yang diciptakannya. Di dalam dunia hiburan ada sebutan Evil Clown, yaitu karakter badut yang dalam pementasannya biasanya bersifat jahat atau menggunakan elemen horor dalam atraksi pentasnya. Bahkan dalam pop culure tidak sedikit karakter jahat digambarkan sebagai sosok badut. Yang paling terkenal adalah musuh bebuyutan Iron Man yang bernama The Joker. Lho kok Iron Man? Sengaja kok bukan typo. Semua pada taulah ya itu musuhnya siapa.

2

Salah satu film yang sempat membuat penonton ngeri akan karakter badut adalah film It, yang kemudian menaikkan pamor pemerannya, Tim Curry. Efeknya bahkan sempat kita rasakan (ngehe kan?). Saat film miniseri tersebut ditayangkan di salah satu stasiun televisi swasta lokal di media 90-an, tidak sedikit anak- anak yang langsung parno akan sosok badut. It terlahir dari buah pemikiran legenda novel horor, Stephen King. Miniseri tersebut juga ikut memberikan sumbangsih dalam industri hiburan. Salah satunya adalah serial Stranger Things, yang sedikit banyak memiliki plot yang mirip dengan It. Dalam dunia industri perfilman nasional juga sempat dibuat film Badoet, yang memang terinspirasi dari film tersebut.

3

Dalam remake- nya kali ini, meskipun memiliki beberapa tribute untuk film original- nya, seperti opening scene yang memilukan dan kostum Pennywise tahun 90-an yang muncul di dalam satu adegan, film ini memiliki berbagai macam perubahan. Di antaranya adalah menaikkan unsur violence dan darah mendekati novel aslinya. Namun demi pertimbangan rating, tetap harus mengesampingkan adegan sex orgy yang dilakukan oleh ketujuh karakter utama. Perbedaan lainnya adalah jenis ketakutan yang dibikin berbeda dibandingkan film lamanya yang memang lebih mendekati novelnya. Namun tetap menampilkan bentuk ketakutan yang sama, di antaranya adalah ketakutan karakter cewek akan menstruasi pertama yang digambarkan dengan “lebih berdarah” di film ini. (Kalau gini harusnya karakter cowoknya digambarkan phobia sama cewek PMS aja ya sekalian… Lebih serem kali daripada badut setan… tapi ya masa IT nya muncul jadi pembalut terus neror- neror orang).

4

Jika ingin disebut apa kekuatan paling besar dari film ini. Saya akan menyebutkan jajaran cast. Keuntungan dari film yang menampilkan karakter anak- anak adalah, bahwa tim casting tidak perlu mencari anak- anak yang sudah beken, karena memang rata- rata masih bau kencur di industri hiburan. Jadi murni yang terpilih memang yang berhasil mengalahkan ratusan kandidat lainnya dalam proses casting. Begitu juga dengan film ini yang bisa dikatakan para aktor- aktris ciliknya begitu membaur dengan karakternya masing- masing. Begitu juga dengan chemistry di antaranya yang benar- benar sempurna. Dan yang tidak ketinggalan adalah Bill Skarsgard, yang bisa tampil sangat creepy sebagai Pennywise. Dari gerak- geriknya serta tatapan matanya yang begitu “mengganggu”. Meskipun jika ingin dibandingkan dengan versi Tim Curry, versi Skarsgard tidak terlalu se playful Curry. Namun untuk membayarnya, kali ini dia bisa menampilkan tampilan Pennywise yang lebih sadis.

5

Usaha sang sutradara untuk meminimalisir penggunaan CGI dan memberikan efek horor yang lebih membumi patut diapresiasikan. Selain itu, bagi yang sempat menonton film aslinya atau membaca bukunya pasti sudah tahu kalau kisah It sendiri dibagi menjadi 2 fase. Fase saat The Losers Club masih anak- anak dan fase di mana mereka sudah dewasa. Jadi tidak usah kaget kalau film It kali ini hanya merupakan bagian pertama dari dua film jika melihat jajaran cast hanya menampilkan karakter utama versi anak- anak saja. Karena berbeda dengan versi tahun 1990, yang memiliki penceritaan flashback, dalam versi remake- nya kali ini timeline diceritakan secara linear, di mana sudah dapat dipastikan akan ada sekuelnya. Menurut kabar salah satu cast yang dipertimbangkan adalah Jessica Chastain sebagai Beverly Marsh dewasa. (dnf)

Rating:

7.5/10

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Spider-Man: Homecoming (2017)

Poster

Directed By: Jon Watts

Cast: Tom Holland, Michael Keaton, Jon Favreau, Zendaya, Marisa Tomei, Robert Dowey Jr., Bookem Woodbine, Jacob Batalon, Donald Glover, Laura Harrier, Michael Chernus, Michael Mando, Logan Marshall- Green

Synopsis:

Paska membantu Iron Man (Robert Downey Jr.), dalam event Civil War, Peter Parker/ Spider-Man (Tom Holland) selalu menantikan saat- saat di mana dia bisa resmi diajak bergabung ke dalam Avengers. Hanya saja karena dirasa masih kecil dan belum dewasa, Peter harus tetap menjalani hari- harinya selayaknya remaja seumurannya. Curi- curi pandang dengan sang pujaan hati Liz (Laura Harrier), bergaul dengan sahabatnya Ned (Jacob Batalon) dan menghadapi komen sinis temannya Michelle (Zendaya), serta menerima bully dari Flash (Tony Revolori). Selain itu, demi menyalurkan kemampuan supernya, Peter hanya membantu lingkungan sekitar sambil menyembunyikannya dari Aunt May (Marisa Tomei).

Kesempatan didapat ketika Peter mengetahui tentang transaksi penjualan senjata gelap hasil peninggalan serangan alien di event The Avengers pertama. Geng yang terdiri dari Phineas Mason/ The Tinkerer (Michael Chernus), Jackson Brice/ Shocker I (Logan Marshall- Green), Herman Schultz/ Shocker II (Bookem Woodbine), dan dipimpin oleh Adrian Toomes/ Vulture (Michael Keaton). Demi membuktikan kemampuan dirinya, Peter mencoba meringkus kawanan penjahat tersebut setelah sebelumnya diacuhkan oleh Stark.

Review:

1

Sebagai karakter paling populer dari jagad Marvel Universe, kehadiran dan bergabungnya Laba- Laba Merah Spider- Man dan Wolverine ke dalam Marvel Cinematic Universe bisa dikatakan merupakan mimpi basah bagi para fans. Doa yang dipanjatkan, komen yang di post, bahkan surat yang dilayangkan ke Marvel sudah tidak terhitung agar mau bernegosiasi dengan Sony dan Fox untuk mau “memulangkan” setidaknya 2 karakter itu saja ke “rumah”nya agar bisa bahu membahu berjuang bersama Iron Man, Captain America, Hulk, dan Thor. Berita kerjasama antara Sony dan Disney/ Marvel untuk saling meminjam karakter untuk terwujudnya doa paling diinginkan oleh fans, menghadirkan titik cerah tersendiri. Fans tidak peduli siapa yang pegang lisensi, siapa yang distribusikan, siapa yang bikin. Yang penting Spider- Man nongol di MCU. Titik.

2

Sebagai pengenalan sekaligus memberikan menambah rasa penasaran, 2 karakter inti telah diperkenalkan tahun lalu di film Captain America: Civil War. Penampilan Tom Holland serta Marisa Tomei sebagai Peter Parker dan Aunt May langsug disambut positif. Holland dirasa sangat pas memerankan Peter baik secara usia yang tidak beda jauh dan kecanggungan sebagai seorang nerd, serta tingkahnya lebih polos ketimbang Garfield dan Maguire. Tomei sudah pasti memberikan pesona tersendiri bagi karakter tante/ ibu asuh Peter yang usianya dipangkas sekitar 20 tahunan dari yang sudah kita kenal selama ini. Apalagi tampang- tampang MIL* Tomei yang pastinya memberikan sensasi tersendiri bagi para penonton dan fanboy.

3

Me- reboot kisah karakter Web Slinger ini sudah pasti memiliki tantangan tersendiri, layaknya me- reboot karakter Batman. Jika dibandingkan memang kedua karakter favorit dari masing- masing kubu tersebut memiliki kesamaan. Selain merupakan karakter paling laris dari tiap publisher-nya, kedua karakter tersebut memiliki perbendaharaan karakter villain yang bejibun, paling banyak, menarik, terkenal, bahkan bisa dikatakan karakter- karakter villain-nya sendiri juga memiliki penggemar tersendiri. Sehingga mau beberapa kali di- reboot pun, kalau dari segi karakter villain, tidak akan membuat bosan. Tantangannya adalah dari segi penceritaan origins karakter. Penonton awampun sudah pasti hapal luar kepala apa yang menyebabkan mereka berdua memutuskan menjadi jagoan penegak kebetulan kebenaran. Untuk reboot Spider- Man: Homecoming ini Marvel tidak pusing- pusing untuk urusan ini. Daripada menghabiskan durasi untuk mereka ulang adegan pembunuhan Uncle Ben dan adegan Peter digigit laba- laba, lebih baik mereka memfokuskan pendalaman karakter sebagai anak bawang dan struggle terhadap kehidupan remaja.

4

Tidak menutup kemungkinan adanya komen banding- bandingin antara Tobey Maguire, Andrew Garfield, dan Tom Holland. Setiap orang pasti punya favorit Spider- Man masing- masing. Kalau Maguire menggambarkan Peter yang belajar cara bertanggung jawab, baik secara kemampuan maupun untuk masa depannya, Garfield digambarkan sebagai Peter yang lincah dan overacting, Holland menurut saya paling pas untuk menggambarkan Peter remaja. Berbeda dengan dua pendahulunya yang aksi- aksi sebagai Spider- Man dilandasi oleh “sentilan” tanggung jawab dari almarhum Pakde Ben, versi Holland digambarkan sebagai anak kecil yang beraksi karena noraknya anak kecil. Pastilah semua dari kita pada saat usia 15 tahun dan tiba- tiba punya kemampuan super, misal menggandakan uang pasti langsung menciptakan aliran sesat., misal seperti Peter Parker pasti akan norak setengah mati dan sok- sokan. Dan akan norak juga ketika melihat gadget -gadget super tim Avengers. Apalagi sampai diajak gabung dan bisa bertemu Captain America, Iron Man, dan yang lainnya. Jangankan kalian. Saya dulu abis nonton Gogle V di Istora Senayan, sampai 3 bulan tiap hari main Gogle- Gogle an terus ngaca- ngaca sambil gaya- gaya berantem.

5

Jajaran cast lainnya yang bagus adalah Michael Keaton. Meskipun telah terlalu sering membintangi film superhero dengan sayap, tapi Keaton tidak lantas memberikan akting yang repetitif. Karakter Toomes di sini pun digambarkan hanya sebagai seorang biasa- biasa saja yang harus menafkahi keluarganya. Dan di beberapa scene digambarkan dia cukup respek terhadap Spidey. Hanya saja dua karakter Shocker yang biasa- biasa saja. Begitu juga dengan porsi karakter The Tinkerer. Batalon dan Tomei sangat pas dalam porsinya masing- masing. Batalon sangat pas berperan sebagai Ned Leeds yang sebagai nerd kebanyakan. Norak juga pas tau sahabatnya adalah sang Spider- Man. Tomei sangat apik. Apalagi seperti saya sebutkan tadi. Memberikan nuansa tersendiri bagi karakter Bude May. Keputusan untuk memberikan sentuhan modern serta teknologi tinggi untuk Spidersuit merupakan keputusan yang menarik. Selain itu, menyelipkan berbagai macam twist di tengah film cukup meningkatkan kualitas cerita.

6

Keputusan untuk memfokuskan sepak terjang Spidey sebagai seorang friendly neighborhood, benar- benar tepat. Berbeda dengan film- film bioskopnya, Spidey di sini layaknya seri MCU versi Netflix. Kejahatan yang dihadapi adalah kejahatan- kejahatan jalanan. Dan tidak ada plot berbelit- belit, seperti menguasai dunia atau ancaman serius bagi umat manusia. Yang dihadapi di sini adalah small time crooks yang memiliki kesempatan untuk menggunakan senjata super. Setelah menyaksikan film ini, saya semakin berharap Marvel mau bekerja sama lagi dan melobi Sony untuk mau bekerja sama untuk film Venom, Silver and Black, dan The Sinister Six, yang kabarnya malah sebagai penerus franchise The Amazing Spider- Man, bukannya Homecoming. Dan harapan saya lagi lepasnya Hugh Jackman dari Fox, serta ending film Logan membuat Fox mau menjual kembali karakter Wolverine untuk muncul di MCU.  Btw, Spider- Man: Homecoming memberikan banyak trivia dan cameo- cameo karakter Spider- Man Universe. Selain itu ada 2 credit scene di pertengahan dan di ending. Yang pastinya sebagai hint, yang di ending merupakan credit scene paling menarik dari keseluruhan film- film MCU. Worth to watch. (dnf)

Rating:

8.5/10

The Mummy (2017)

Poster

Directed By: Alex Kurtzman

Cast: Tom Cruise, Sofia Boutella, Annabelle Wallis, Russell Crowe, Jake Johnson

Synopsis:

Saat sedang hendak mencari harta karun, dua orang prajurit, Nick Morton (Tom Cruise) dan Chris Vail (Jake Johnson) menemukan jalan masuk ke sebuah makam dari seorang putri kerajaan Mesir kuno, Princess Ahmanet (Sofia Boutella) yang dikutuk karena menjalankan sebuah kejahatan keji pada jamannya. Nick pun tanpa sengaja membangunkan sang putri. Untuk ini, Nick pun dikutuk untuk menjadi target persembahan sang putri kepada Dewa Set. Dengan bantuan seorang arkeolog Jenny Halsey (Annabelle Wallis) dan seorang dokter Henry Jekyll (Russell Crowe), Nick mencari jalan untuk menggugurkan kutukan tersebut.

Review:

1

Paska kesuksesan MCU, studio- studio saingan berbondong- bondong untuk menciptakan shared universe dari database film- film koleksinya untuk nantinya dikumpulkan ke dalam satu film. Salah satunya adalah Universal Monsters yang direinkarnasi ulang dengan julukan Dark Universe. Sedikit informasi mengenai Universal Monsters, adalah sekumpulan film- film dengan genre horor, sci- fi, dan thriller suspense yang dirilis oleh studio berlogo bola dunia tersebut dalam rentang dekade antara tahun 1920 sampai 1950an. Ada 4 karakter paling populer yang menjadi trade mark dari line franchise ini. Yaitu The Mummy, Dracula, Frankenstein, dan Wolfman. Karakter- karakter lainnya yang diperkenalkan lewat franchise ini antara lain adalah Gillman, The Invisible Man, The Phantom of The Opera, Quasimodo, Van Helsing dan Edgar Allan Poe.

2

Sebenarnya ini bukanlah kali pertama karakter- karakter horor klasik tersebut disatukan dalam sebuah franchise. Judul- judul film seperti Van Helsing, The Ghost Squad, atau yang belum lama tayang dwilogi Hotel Transylvania pernah mencoba formula ini. Termasuk line lego Monster Fighters, yang meskipun tidak memakai nama- nama karakter yang sama, tapi memakai sosok karakter yang sama dengan franchise ini. Untuk Dark Universe, film pertama yang dijadikan pembuka adalah The Mummy. Dengan mengadaptasi bebas dari film The Mummy tahun 1932. Menandakan ini kali kedua film tersebut diadaptasi bebas setelah sebelumnya sempat dilakukan oleh Stephen Sommers yang sekaligus membuktikan seorang Brendan Fraser pun mampu menjadi action hero bukan hanya sekedar komedian.

3

Sebelum menyaksikan film The Mummy baru ini hal yang perlu diperhatikan adalah, secara genre mungkin lebih mendekati versi tahun 1999 yang menggunakan pendekatan aksi petualangan dibaluti unsur komedi bukan seperti versi aslinya yang lebih menitikberatkan nuansa horor suspense. Begitu juga nantinya dengan film- film Dark Universe lainnya. Sebagai sebuah sajian aksi petualangan film ini sudah cukup menjanjikan. Meskipun secara naskah dan kemasan masih tidak sekuat versi Stephen Sommers yang mampu membuat penonton laksana menaiki wahana permainan, film ini cukup memberikan aksi seru yang cukup menegangkan. Hanya saja naskah masih terlalu dangkal. Sepertinya David Koepp dan Christopher McQuarrie terlalu sibuk untuk membuka franchise ketimbang memberikan cerita yang bagus sebagai sebuah film standalone.

4

Univesal sepertinya mengambil jalan yang cukup berbeda dengan Dark Universe ini dibanding yang diambil oleh DCEU, MCU, dan Monsterverse dalam hal pemilihan jajaran cast. Aktor- aktor yang telah terpilih tidak main- main, mereka adalah aktor- aktor papan atas jaminan sebuah film akan sukses secara komersil, selain tentunya Universal harus merogoh kocek dalam- dalam untuk mengiming- imingi aktor- aktor tersebut. Mereka adalah Johnny Depp, Javier Bardem, Russell Crowe, dan Tom Cruise. Tom Cruise diplot sebagai aktor untuk film pembuka sebagai magnet penonton. Jadi setidaknya kalau orang tidak tertarik dengan franchise-nya setidaknya akan tertarik untuk nonton Tom Cruise. Sayangnya di sini mantan Nicole Kidman ini tidak memberikan kemampuan terbaiknya. Tampilan serta akting Cruise sebagai Nick Morton di sini identik dengan Ethan Hunt. Sehingga di beberapa adegan aksi kita terasa seperti menonton film Mission: Impossible saja.

5

Untungnya Sofia Boutella mampu memainkan perannya dengan sempurna. Berbeda dengan yang sempat dibawakan oleh Boris Karloff dan Arnold Vosloo. Jika dibandingkan mungkin bisa dibandingkan dengan Cesar Romero, Jack Nicholson, dan Heath Ledger di mana masing- masing sukses membawakan karakter The Joker dengan sempurna dan memiliki ciri khas tersendiri. Dengan peran Princess Ahmanet ini, Sofia Boutella semakin menancapkan predikat Bad Ass Chick-nya setelah cukup menyita perhatian lewat jilid pertama Kingsman dan jilid ketiga Star Trek-nya Chris Pine. Boutella bahkan mampu mengalahkan sinar kebintangan saat harus beradu akting dengan Tom Cruise. Selain itu Russell Crowe juga cukup meyakinkan sebagai Jekyll/ Hide.

6

Meskipun memiliki naskah yang kurang sempurna, bisa dikatakan film ini mampu menjadikan pembuka untuk Dark Universe. Hanya saja pemilihan Tom Cruise mungkin bisa digantikan dengan aktor populer yang tidak memberikan stereotype terlalu sama dengan peran- peran lainnya. Mungkin misal Tom Hardy. Namun secara keseluruhan saya cukup optimis dengan kelangsungan Dark Universe ke depannya. Apalagi dengan diumumkannya karakter Phantom of The Opera dan Quasimodo akan diangkat juga melengkapi Frankenstein, Wolfman, Gillman, Van Helsing, dan The Invisible Man, yang telah terlebih dulu dipastikan akan muncul. Mudah- mudahan juga Universal akan segera memutuskan. Apakah akan tetap tidak memasukkan Dracula Untold ke dalam shared universe ini atau malah bagaimana. Karena keputusan tersebut akan mempengaruhi apakah perlu dibuatkan lagi film standalone Dracula atau melanjutkan kontrak Luke Evans, yang menurut saya sudah cukup sempurna memerankan Dracula dan cocok jika dimasukkan ke dalam Dark Universe. Karena apalah arti Dark Universe tanpa Dracula? (dnf)

Rating:

8/10

Wonder Woman (2017)

34718360706_186536dc8e_k

Directed By: Patty Jenkins

Cast: Gal Gadot, Chris Pine, David Thewlis, Connie Nielsen, Alena Anaya, Lucy Davis, Danny Huston, Robin Wright, Ewen Bremmer, Eugene Brave Rock, Said Taghmaoui

Synopsis:

Princess Diana (Gal Gadot) adalah seorang putri dari kaum Amazon, yang selalu di anak emaskan oleh sang ratu, Queen Hippolyta (Connie Nielsen). Suatu hari, Diana menyaksikan seorang pilot terjatuh di pesisir pantai Themyscira, pulau kaum Amazon. Dia adalah Steve Trevor (Chris Pine), seorang agen intelijen Inggris yang hendak menghentikan sepak terjang seorang jenderal Jerman, Erich Ludendorff (Danny Huston) yang bekerjasama dengan Isabel Maru/ Doctor Poison (Elena Anaya) untuk menciptakan gas beracun yang dapat menimbulkan kematian baik dari sisi kedua pihak yang berperang.

Diana yang merasakan adanya peran sang dewa perang, Ares dalam perang dunia ini, terpanggil untuk menemani Steve membunuh Ares dan menghentikan peran dunia, sebelum semakin banyak korban yang jatuh.

Review:

1

Sudah menjadi pehamaman umum, bahwa semua film superhero wanita biasanya sukses. Iya, sukses dimaki kritikus dan sukses jatuh di tanggan Box Office. Sebut saja Supergirl, Catwoman, dan Elektra. Itu juga yang membuat Marvel enggan membuat film solo Superhero ceweknya. Sampai dia menjawab tantangan DCEU lewat Captain Marvel yang akan dibandingkan dengan Wonder Woman, sebagai film superhero wanita pertama dari saga sinematik kedua kubu. Sebenarnya bukan karena paham seksisme, diskriminasi, atau apapun. Film- film tersebut memang memiliki kualitas yang sangat buruk. Terlebih Catwoman, yang miscast dari berbagai hal. Wonder Woman dipercaya mampu membalikkan persepsi publik tersebut dan menaikkan citra superhero wanita di mata penonton.

2

Belum apa- apa, film Wonder Woman sudah mendapatkan pandangan miring dengan penetapan Gal Gadot sebagai sang putri Amazon. Alasannya adalah badannya yang terlalu kerempeng dan postur yang jauh dari gambaran umum dari seorang Wonder Woman. Sekaligus dibanding- bandingkan dengan Lynda Carter yang jauh lebih berisi di versi tahun jadulnya. Namun seperti halnya Ben Affleck, yang saat diangkat sebagai Batman sempat mendapatkan kritikan pedas serta hujatan dari para fans, Gadot mampu menapik penilaian buruk tersebut lewat BvS: Batman v Superman tahun lalu. Bahkan penampilannya sebagai Wonder Woman di film itu mampu menyaingi kedua superhero pria yang menjadi judul filmnya. Kalau boleh saya bilang malahan mampu menjadi scene stealer di pertarungan klimaks. Lengkap dengan musik Is She With You gubahan Hans Zimmer dan Junkie XL. Lengkap sudah alasan menunggu kehadiran film solonya.

3

Yang menjadi kekuatan dari film ini adalah performa Gal Gadot yang memang nyaris sempurna menjadi Wonder Woman. Perpaduan kecantikan serta eksotisme wajahnya menjadikan gambaran superhero wanita yang diceritakan dari kaum ningrat sekaligus tidak melupakan sisi fierce seorang pahlawan. Ditambah lagi dengan dialek Gadot yang seksi dalam berbahasa inggris. Begitu juga Chris Pine sebagai Steve Trevor yang cukup bagus. Selain itu lagu- lagu pengiring juga bisa dikatakan cukup memberikan warna dari adegan yang sedang berlangsung di layar. Namun bukan berarti dari segi casting tidak terdapat kesalahan. Aktor yang memerankan karakter musuh utama benar- benar miscast abis. Tidak ada kecocokan dengan karakter musuh utama yang terkenal bengis. Dari bentukan mukanya pun sangat tidak cocok.

5

Pemilihan Patty Jenkins diharapkan dapat memberikan sentuhan feminim untuk film ini. Patty Jenkins yang baru kali keduanya menyutradarai film layar lebar setelah Monster ini ternyata menjadi kesalahan yang cukup fatal. Pasalnya, gambaran Wonder Woman yang ditampilkan cukup seru tahun lalu dan menimbulkan ekspektasi bahwa filmnya juga bakal seru, malah menghadirkan adegan- adegan boring yang cukup dragging. Terutama dalam mengembangkan hubungan dan chemistry antara Diana dan Steve. Plothole pun banyak terjadi di sana- sini. Salah satunya adalah penjelasan bahwa kaum Amazon mampu berbicara dalam 1000 bahasa yang membuat penonton maklum kenapa di Themyscira bahasa inggris menjadi bahasa sehari- hari. Hal ini juga diperlihatkan dalam beberapa adegan saat Diana berbicara dalam berbagai bahasa. Hanya banyak saat di mana Diana berbicara dengan penduduk Eropa Timur menggunakan Bahasa Inggris, sementara terdengar bahasa Prancis (kalo gak salah) menjadi bahasa sehari- hari di daerah tersebut. Untuk adegan aksi masih bisa dikatakan seru. Terutama adegan aksi di pertengahan film. Hanya saja adegan klimaksnya terasa biasa saja. Padahal masih bisa dibuat jauh lebih baik lagi.

6

Secara keseluruhan film Wonder Woman menimbulkan kekecewaan untuk saya pribadi. Meskipun secara kualitas masih terselamatkan lewat 2 casting utama serta tampilan grafis yang masih related dengan BvS dan Man of Steel. Mudah- mudahan DCEU mampu belajar banyak untuk film- film berikutnya. Seperti halnya Warner yang mulai tidak anti menghadirkan joke- joke ringan di film- filmnya. Terutama untuk Justice League, Aquaman, dan The Flash yang dipersiapkan untuk masuk daftar tayang dalam waktu dekat. (dnf)

Rating:

7/10